UNTUK meminimalkan terpaparnya penyakit dari darah donor, kini bisa dilakukan dengan nucleic acid testing atau NAT. Sebuah teknologi yang dipercaya akurat dan aman untuk menyaring darah. Donor darah merupakan proses pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk disimpan di bank darah untuk kemudian dipakai pada transfusi darah. Dalam proses transfusi darah, bukan tidak mungkin beberapa darah donor terinfeksi virus. Ujungnya, penerima donor pun berisiko terpapar virus tersebut.
“Kantung-kantung darah hasil donor bisa saja mengandung hepatitis B hepatitis C dan HIV. Itu sebabnya Palang Merah Indonesia (PMI) mempunyai mekanisme yang ketat untuk skrining di laboratorium,” ucap Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Dr Bambang Sardjono MPH.
Sardjono mengatakan, pemberian transfusi darah mempunyai risiko penularan penyakit. Di antaranya penyakit infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD), terutama HIV/AIDS, hepatitis C, hepatitis B, sifilis, dan malaria. Dalam transfusi darah, keamanan tindakan transfusi darah bergantung pada seleksi donor, proses dari pengeluaran darah dari vena donor sampai dengan tindakan memasukkan darah ke vena pasien, juga ketepatan indikasi.
“Pelayanan darah yang aman adalah bagian dari penyelenggaraan upaya kesehatan, dan itu tercantum dalam undang-undang,” ucapnya dalam acara Red Cross Day Seminar bertema “Screening Up Date for Blood Safety” yang diadakan PMI dan didukung oleh Novartis Indonesia di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Sardjono menyebutkan, pelayanan donor darah aman, penting sekali diperhatikan. Pelayanan donor darah aman merupakan pelayanan donor darah yang memenuhi prinsip darah berasal dari pendonor darah sukarela, berbadan dan berprilaku sehat.
Selain itu pendonor memenuhi kriteria sebagai pendonor darah berisiko rendah (low risk donor) terhadap infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah. Selama ini uji saring yang dilakukan berupa skrining darah yang telah memenuhi standar WHO.
Di antaranya dengan metode ELISA (enzyme linked immuno sorbent assay), yaitu metode yang umum dipakai untuk mendeteksi antigen atau antibodi yang dihasilkan tubuh sebagai tanggapan atas kehadiran virus. Karena itu, perlu jangka waktu tertentu dari awal terjangkitnya infeksi sampai terdeteksinya antigen atau antibodi dalam darah yang disebut dengan window period.
Untuk meningkatkan standar keamanan suplai darah sesuai standar internasional, PMI menggandeng perusahaan multinasional Novartis Diagnostics untuk menggunakan rangkaian teknologi penapisan darah Novartis Diagnostics Procleix berbasis nucleid acid testing (NAT) di 15 unit donor darah (UDD) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Jean-Luc Devleeschauwer, Kepala Pengembangan Komersial Novartis Diagnostics di Asia Pasifik, menyebutkan, manfaat utama NAT adalah kemampuannya mengurangi risiko terjadinya infeksi pada masa jendela (window period).
“Keakuratannya terbukti mencapai 99,99 persen,” katanya.
Jean-Luc mengatakan, saat ini PMI akan memakai Novartis Procleix Ultrio Assay untuk menyaring setiap unit darah pendonor dari HIV-1 (virus yang menyebabkan AIDS) dan virus hepatitis B dan C. Tes tersebut dilakukan oleh sistem Procleix Tigris secara terpadu dan otomatis sehingga dapat menyederhanakan cara kerja, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi risiko kontaminasi dari sampel darah dibandingkan dengan penanganan secara manual.
“Dengan penyaringan ini, diharapkan lebih banyak orang dapat terbantu karena stok darah yang aman, serta semakin banyak orang yang sadar dan mau menyumbangkan darahnya secara teratur,” ucapnya.
Beberapa keunggulan metode NAT, antara lain lebih sensitif dalam mendeteksi virus walaupun kadarnya sangat sedikit dalam darah. Selain itu, NAT dapat mendeteksi lebih dini asam nukleat virus sehingga mengurangi window period.
Dan, proses pemeriksaan dengan metode NAT dilakukan secara fullotomatis dan sistem tertutup sehingga mengurangi kontaminasi. Penyediaan UDD berteknologi NAT merupakan awal mula guna mewujudkan persediaan darah yang aman bagi publik. Selain itu, PMI dapat menjadikan transfusi darah lebih aman bagi para pasien.
Dengan begitu, pasokan darah pun memadai dalam hal kuantitas, bebas dari virus HIV, hepatitis, dan infeksi berbahaya lainnya.